Patient Safety
Patient safety merupakan suatu inisiatif yang relatif baru dalam
pelayanan kesehatan. Pasient safety merupakan
upaya-upaya pelayanan yang mengutamakan keselamatan pasien. Penekanannya adalah pada pelaporan kejadian
yang merugikan pasien, pencegahan terhadap kesalahan medis dan pencegahan
perawatan yang merugikan kesehatan pasien (Ashish Jha,
2008).
Patient safety dikenal sejak 1990 ketika banyak
dilaporkan jumlah morbiditas dan
mortalitas setiap tahun di berbagai negara. Patient
safety merupakan pesan penting secara global yang harus diterapkan oleh
seluruh tenaga kesehatan di seluruh negara yang tergabung dalam WHO. Pada
tanggal 27 Oktober 2004 WHO meresmikan World
Alliance for Patient Safety yang bertujuan untuk mengkoordinasikan
aksi-aksi global berkaitan dengan keselamatan pasien dan melawan
permasalahan-permasalah kerugian pasien yang semakin banyak dilaporkan
(Donaldson, 2004). Aliansi ini memfasilitasi suatu bentuk kepemimpinan yang memastikan
terjawabnya permasalahan krusial di seluruh dunia dengan harapan
terselenggaranya praktik baik dalam setiap pelayanan serta dapat dipastikan
setiap penentu kebijakan di seluruh negara menekankan patient safety dalam
strategi nasionalnya. Dengan kalimat
lain dijelaskan bahwa setiap sistem kesehatan di seluruh dunia mempunyai
peluang untuk menciptakan suatu bentuk pelayanan yang aman dan nyaman bagi
pasien. Sebagai langkah awal adalah
menjamin komitmen dari pemimpin negara, penentu kebijakan dan seluruh
unsur profesi/tenaga kesehatan di seluruh dunia menuju suatu bentuk pelayanan
yang aman bagi pasien sehingga mampu menyelamatkan kehidupan dan mengurangi
kerugian – kerugian pasien.
a.
Startegi Patient Safety
Strategi dan tantangan globlal
dalam pelaksanaan patient safety
menjadi issue yang semakin diperhatikan oleh pelaku pelayanan kesehatan di
seluruh dunia. Ini disebabkan oleh semakin diterimanya konsep patient safety diseluruh dunia, sebagai
upaya untuk mengurangi kesakitan dan kematian ataupun kerugian-kerugian pasien.
Tantangan global dalam patient safety
lebih diarahkan untuk mencapai goals
(tujuan). Tantangan tersebut antara lain :
1) Clean Care
is safer care.
Perawatan yang bersih adalah
perawatan yang aman. Tantangan pertama dalam
patient safety ini dirumuskan pada tahun 2005, dengan penenekanan pada
pencegahan infeksi. Aksi utama pada goals ini adalah kebersihan tangan. Sebagaimana kita ketahui bersama,
dalam setiap tindakan pelayanan, sebelum dan sesudah berinteraksi dengan
pasien, petugas kesehatan harus mencuci tangan guna mencegah penularan. Selain
kebersihan tangan, hal lain dalam Clean Care is safer care adalah
kebersihan alat, prosedur, produk dan lingkungan. Kebersihan alat misalnya saat
memberikan suntikan harus menggunakan alat suntik yang steril dan sekali pakai.
Kebersihan prosedur misalnya pada saat melaksanakan tindakan perawatan
(operasi) harus memperhatikan prinsip sterilitas. Kebersihan produk misalnyan pada saat memberikan transfusi darah,
produk darah harus benar-benar bersih dari bibit penyakit yang bisa ditularkan.
Kebersihan lingkungan meliputi kondisi air dan udara disekitar ruang perawatan.
Upaya promosi untuk dilaksanakannya Clean
Care is safer care antara lain melalui :
a) Komitment pemerintah
b) Meningkatnya kesadaran tentang
kebersihan
c) Standart Operasional Prosedur
yang mendukung
Tantangan pertama ini adalah suatu tindakan yang
praktis dan sangat simple (mudah) untuk dilakukan, dengan hasil yang cukup
berarti untuk menurunkan kasus-kasus
infeksi.
2) Save Surgery Save Lives
Tindakan yang aman akan
menyelamatkan kehidupan. Pernyataan ini adalah tantangan kedua dalam global patient safety. Kejadian luka
traumatis akibat suatu tindakan pembedahan, operasi dan lainnya dilaporkan
banyak menyebabkan komplikasi atau beban ganda penyakit pasien. Tantangan untuk
diterapkannya save surgery lebih ditekankan pada pencegahan kejadian yang
merugikan pasien ataupun membuat komplikasi yang menyebabkan kecacatan dan
kematian pasien. Dalam perkembangan terakhir, dilaporkan bahwa keterbatasan
infrastruktur dan peralatan, keterbatasan obat yang berkualitas, manajemen
pengawasan infeksi, terbatasnya keterampilan dari petugas dan faktor biaya
merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam global patient safety.
Menurut komite internasional yang fokus pada patient
safety menetapkan beberapa solusi berkaitan dengan patient safety yakni :
a) Pencegahan terhadap kejadian
”pasien jatuh”
b) Pencegahan terhadap
timbulnya perlukaan
c) Respon terhadap pasien dengan
kondisi yang menurun
Mengkomunikasikan dengan jelas
tentang hasil pemeriksaan
Medical Error
a. Pengertian
Mendefinisikan medical error sebaiknya dipahami juga pengertian beberapa hal yang
berkaitan dengan error, yakni konsep
tentang keselamatan pasien (patient
safety) kelalaian (negligence),
dan Adverse event. Patient safety
didefinisikan sebagai upaya menghindari, mencegah dan memperbaiki hasil yang
merugikan pasien atau cidera akibat dari proses perawatan kesehatan (US National Patient Safety Foundation,1999).
Brenan, seperti yang disitasi oleh Grober
(2005) menjelaskan bahwa negligence adalah
kegagalan untuk memenuhi standar perawatan pasien yang diharapkan dari dokter
yang telah terkualifikasi. Adverse event
adalah cidera atau komplikasi yang tidak diinginkan yang berakibat kecacatan,
kematian atau memperpanjang waktu perawatan di rumah sakit yang disebabkan dari
manajemen perawatan kesehatan (termasuk omission
atau commission).
Medical Error didefinisikan dalam arti suatu proses yang gagal
dan yang jelas ada keterkaitannya dengan akibat atau hasil negatif (Adverse Outcome). Reason (1997)
mendefinisikan medical error
merupakan deviasi atau penyimpangan dari proses perawatan yang mungkin (atau
tidak) dapat menyebabkan kerugian bagi pasien. Pengertian tentang medical error
ini secara eksplisit mencakup domain kunci dari penyebab kekeliruan (omission, commisssion, perencanaan dan
pelaksanaan). Definisi tersebut menggambarkan bahwa setiap tindakan yang
dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan rencana atau prosedur sudah dianggap
sebagai medical error. Kejadian medical error yang dilakukan oleh
petugas (human error) merupakan salah
satu penyebab adverse event. Reason
(1997) menjelaskan penyebab-penyebab terjadinya adverse event seperti dalam bagan berikut :
Setiap tindakan perawatan kepada pasien
selalu mengandung risiko. Risiko dapat berupa risiko yang langsung terjadi
maupun risiko yang bersifat latent
(perlahan tapi pasti). Sebuah risiko akan terjadi apabila tidak adanya
pertahanan untuk mengalahkan bahaya yang mengancam (Reason, 1997). Kerugian
yang ditimbulkan dari perawatan medis kadangkala tidak menyebabkan suatu cidera
pada pasien, karena error yang
terjadi dapat segera diidentifikasi atau dilakukan mitigasi, atau karena tidak
adanya complain dari pasien atau
bahkan karena faktor keberuntungan semata. James Reason mengilustrasikan
tentang penyebab medical error dengan
istilah “Swiss Cheese” yang dapat
diaplikasikan dalam perawatan kesehatan. Menurut Reason, sistem dan lingkungan
kerja merupakan lapisan pertahanan untuk melawan atau melindungi dari
konsekuensi error yang terjadi.
Terlepas dari hal tersebut, beberapa lubang atau kelemahan yang ada dalam
setiap individu pada sistem perawatan kesehatan dapat menyebabkan timbulnya error tersebut. Cidera pada pasien akan
terjadi apabila terdapat adanya kekeliruan yang mengisi lubang pada setiap
lapisan pertahanan. Dalam suatu pelayanan kesehatan banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya suatu kejadian yang merugikan pasien. Faktor – faktor
tersebut antara lain; faktor manusia (human
error), faktor organisasional (aturan-aturan, dan kebijakan-kebijakan pada
setiap unit pelayanan). Sebagai manusia, dapat melakukan kesalahan dan
kelalaian. Fokusnya harus pada faktor-faktor yang mempengaruhi kesalahan dan
tujuan kegiatan sesuai dengan kondisi kerja. Kesalahan-kesalahan yang sering
terjadi merupakan penyebab utama kejadian yang merugikan pasien. Kesalahan yang
bersifat laten biasanya disebabkan oleh keputusan dan kebijakan yang dibuat
oleh organisasi. Mereka menciptakan kondisi lokal yang menghasilkan kesalahan
yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Contoh dari kesalahan laten
adalah kekurangan staf dan kelebihan beban kerja.
Scholfield
(2008) menyebutkan bahwa dalam sebuah kajian mengenai analisis pencarian akar
penyebab dari 37 kejadian kasus obstetri, 92% kasus tidak terdapat pedoman atau
protokol praktik klinik dan 49% staf tidak terbiasa dengan protokol kerja dan
gagal melaksanakannya. Faktor
manusia merupakan faktor yang paling penting. Banyak kejadian dilaporkan
tentang kelalaian atau kesalahan medis yang dilakukan petugas kesehatan.
Kinerja seseorang hubungannya dengan kesalahan (error) yang dilakukan terbagi dalam 3 (tiga) tingkatan
(Reason,2004) yakni :
a.
Knowledge based
Pada tingkatan
ini sangat tergantung dari bagaimana kita bisa mengulang kembali kesalahan yang
telah diperbuat dan mengkaitkanya dengan dasar-dasar teori yang pernah
diperoleh. Kemampuan pengetahuan seseorang yang telah ditempuh merupakan hal
yang mendasar untuk dapat merefleksi kembali kesalahan yang pernah dilakukan.
Tanpa adanya dasar pengetahuan atau kognitif yang baik, maka kita tidak bisa
mengambil pembelajaran dari kesalahan dengan baik.
b.
Rule based
Tingkatan ini
terjadi ketika kita memodifikasikan perilaku yang harus dilaksanakan dengan
situasi yang sedang terjadi. Pada tingkatan ini petugas diharuskan mampu
mengaplikasikan tugas sesuai peraturan yang telah dibuat
c.
Skill based
Pada tingkatan
ini petugas melaksanakan tugas dengan kemampuan praktik yang tinggi, terjadi
secara otomatis dan dengan tingkat kesadaran yang tinggi.
Seperti telah
diuraikan dalam bagian terdahulu, bahwa kesalahan-kesalahan yang mengancam
keselamatan pasien tidak hanya disebabkan oleh kurang kompetennya petugas,
tetapi juga disebabkan oleh fungsi organisasi yang memberikan
peraturan/kebijakan yang harus dilaksanakan oleh petugas.
Medical error mempunyai 2 komponen yakni unsur manusia (Human)
dan unsur sistem. Manusia sebagai provider
seringkali dianggap sebagai komponen utama terhadap terjadinya suatu medical error, tetapi pada umumnya medical error dapat terjadi karena
gagalnya sistem yang memberi peluang sehingga memungkinkan terjadinya suatu error. Unsur manusia hanya merupkan
salah satu mata rantai saja, dan pola atau sistem dalam pelayanan kesehatan
merupakan mata rantai yang lainnya.
Kejadian yang
merugikan pasien atau medical error sebenarnya
dapat dicegah (preventable medical error).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Blendon (2002) di Amerika, diketahui bahwa
penyebab dari preventable medical error adalah;
staff keperawatan pada rumah
sakit, kelebihan beban kerja dan stress tenaga kesehatan, kompleksitas
perawatan dan pengobatan, kurangnya pelatihan, kurang lengkapnya pendokumentasian
secara tertulis, kurangnya supervisi, dan kurangnya sistem komputerisasi.
Alasan yang lebih penting terjadinya error
adalah kesalahan individual dan kesalahan sistem di instansi pelayanan.
b. Tipe-tipe Medical Error
Tipe medical error berdasarkan aspek teknis
dibedakan atas :
1) Error of omission, yaitu tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukan. Tipe error ini contohnya
adalah keterlambatan dalam penanganan pasien atau tidak meresepkan obat untuk
indikasi yang jelas.
2) Error of commission, yaitu melakukan tindakan yang seharusnya tidak
dilakukan. Tipe error ini contohnya
adalah kesalahan dalam memutuskan pilihan terapi dengan memberikan obat yang
salah, atau obat diberikan melalui cara yang salah.
Berdasarkan proses terjadinya, medical
error dapat dibedakan :
1) Diagnostik error; kesalahan atau keterlambatan dalam menegakkan
diagnosis, tidak melakukan suatu pemeriksaan padahal ada indikasi untuk itu,
penggunaan uji/pemeriksaan atau terapi yang sudah tergolong tidak dianjurkan
lagi.
2) Treatment error; kesalahan atau error dalam memberikan obat,
dosis terapi yang keliru, atau melakukan terapi secara tidak tepat (bukan atas
indikasi).
3) Preventive error, memberikan profilaksi untuk situasi yang
memerlukan profilaksi, dan pemantauan atau melakukan tindak lanjut terapi
secara tidak adekuat.
4) Lainnya (system error), pemakaian alat medis yang
tidak sesuai atau kesalahan akibat kegagalan sistem, dan tidak terstandarnya
alat medis yang digunakan untuk perawatan medis.
c. Mencegah Terjadinya Medical Error
Menurut AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality),
dalam rangka memaksimalkan patient safety,
menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah
sakit/ lembaga pelayanan kesehatan untuk mencegah medical error yakni :
1) Mengubah budaya
organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien.
Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistemsumberdaya manusia dari
sejak perekrutan, sistem supervisi dan kedisiplinan. Rasa malu untuk melaporkan
kesalahan dan kebiasaan menghukum petugas yang melakukan kesalahan harus
dihindari agar petugas dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen
atau komite medis, sehingga dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian
serupa di kemudian hari.
2) Melibatkan pimpinan
kunci dalam program patient safety. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam
menjalankan program-program manajemen risiko.
3) Mendidik para
profesional di rumah sakit dengan pemahaman tentang patient safety dan bagaimana mengidentifkasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan patient safety.
4) Membentuk Komisi
Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan
bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk
adanya kesalahan mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya
5) Mengembangkan dan
mengadopsi protokol dan prosedur yang aman
6) Memantau dengan
hati-hati penggunaan alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru.
7) Sesuai dengan
peraturan dan undang-undang Kesehatan mewajibkan setiap tindakan medis mempunyai
Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Pelayanan Medis (SPM), dimana
semua petugas dalam melaksanakan tugasnya berpedoman pada SOP dan SPM.
d. Upaya Mencegah Terjadinya Medical Error
Institute of Medicine mengemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya medical error, antara
lain :
1)
Pengukuran kinerja dan penerapan performance
improvement system
Pengukuran kinerja ini dapat dilakukan melalui
berbagai cara, antara lain dengan mengumpulkan data dan monitoring terhadap outcome spesifik yang menjadi salah satu
target potensial untuk terjadinya medical
error. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan secara rutin di tingkat rumah
sakit atau di tempat pelayanan kesehatan yang lebih rendah. Tujuannya adalah
untuk mendeteksi sedini mungkin terjadinya medical
error, dan sekaligus menetapkan upaya perbaikan berdasarkan masalah yang
dihadapi. Selain itu dapat pula dikembangkan program risk management. Program ini merupakan respons terhadap kejadian medical error, yang sebetulnya dapat dicegah,
apabila prosedur dijalankan secara benar. Program-progam pencegahan infeksi
nosokomial di rumah sakit adalah bentuk lain dari pengukuran kinerja dan
sekaligus menyediakan instrumen untuk mencegah hal tersebut.
2)
Menetapkan strategi pencegahan berbasis pada fakta.
Beberapa langkah pencegahan risiko terjadinya medical error dapat dilakukan dengan
cara :
a) Mengidentifikasi dan
memantau kejadian error pada sekelompok pasien dengan risiko tinggi serta
memahami bagaimana error bisa terjadi, khususnya untuk yang bersifat preventable.
b) Melakukan analisis,
interpretasi dan medeseminasikan data yang ada pada para klinisi maupun stakeholders.
c)
Menetapkan strategi untuk mengurangi risiko
terjadinya medical error dengan
mempertimbangkan bagaimana strategi tersebut dapat diterapkan dalam sistem
pelayanan kesehatan yang ada.
d) Jika diperlukan dapat
diundang para pakar dalam bidang klinis, epidemiologi klinis, atau managemen
training untuk melakukan eksplorasi dan sekaligus memformulasikan solusi
pemecahan.
e) Evaluasi terhadap
keselamatan pasient (patient safety).
Instrument - instrument untuk menilai safety
serta indikator patient safety dapat
digunakan sebagai alat untuk menilai apakah telah terjadi perbaikan setelah
dilakukan berbagai upaya koreksi.
3)
Menetapkan standar Kinerja untuk keselamatan pasien (patient safety).
Standar
kinerja untuk keselamatan pasien betujuan untuk :
a) Sebagai standar
minimum kerja yang harus dilakukan oleh setiap petugas untuk meminimalkan
terjadinya risiko.
b) Standar kinerja yang
dimaksud untuk menjamin konsistensi dan keseragaman prosedur bagi setiap
petugas dalam melakukan tindakan medis, sehingga jika terjadi error maka dapat ditelusuri apakah
standar yang digunakan adekuat.
c) Menjamin bahwa
pelaksanaan standar adalah dalam kerangka profesionalisme dan akuntabilitas.
Dalam suatu
sistem atau organisasi, upaya pencegahan terjadinya risiko atau terjadinya medical error merupakan hal yang mutlak
dilakukan, untuk itu perlu adanya penilaian risiko oleh tim yang ada dalam
organisasi/instansi. Penilaian risiko bertujuan untuk mengidentifikasi risikon
sebelum kejadian buruk terjadi, dan meletakkan prosedur untuk mengurangi
risiko. Selanjutnya rencana aksi dikembangkan untuk mengatasi risiko. Penilaian
risiko harus multidisiplin, dan harus berjalan secara reguler untuk memastikan
bahwa semua aksi yang dilakukan dapat mengidentifikasi risiko yang terjadi.
Menurut Scholfield (2008) penilaian terhadap risiko setidaknya mencakup
beberapa hal yakni; tingkatan staff dan pelatihan serta kemampuan personel, organisasi lingkungan kerja yang
aman bagi staf dan pasien, peralatan medis dan obat-obatan, serta
prosedur-prosedur dan kebijakan dalam praktik yang dilaksanakan.
STUDY TENTANG
MEDICAL ERROR PADA ASUHAN PERSALINAN OLEH BIDAN LULUSAN DIII KEBIDANAN
Asuhan kebidanan pada ibu bersalin
merupakan kompetensi kritis bagi bidan. Risiko keselamatan pasien dan tidak
terjadinya medical error menjadi hal
utama yang diharapkan pasien. Kompetensi bidan sebagai provider menjadi kunci
utama untuk tidak terjadinya medical error.
Kompetensi ini mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan dalam
memberikan asuhan kebidanan. Dalam menjalankan kompetensi ini, dipengaruhi oleh
faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal dari bidan adalah
pendidikan, usia, dan lama kerja atau pengalaman kerja, sedangkan faktor
eksternal meliputi fasilitas dan standar operasional prosedur yang ada di unit
pelayanan kebidanan.
Hasil analisis pada penelitian ini
menunjukkan angka-angka statistic yang dapat menjelaskan terjadinya medical error pada asuhan persalinan
yang diungkapkan dari kualitas asuhan persalinan oleh bidan lulusan DIII
kebidanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa asuhan persalinan yang tidak baik
mempunyai kecenderungan untuk terjadinya medical
error sebesar 3 kali dan dapat disimpulkan bahwa 7% kejadian medical error tersebut dipengaruhi oleh
kualitas asuhan persalinan yang diberikan bidan lulusan DIII. Prevalensi
bertambah secara signifikan setelah dikontrol secara bersama sama dengan
variable luar (kelengkapan fasilitas dan SOP).
Menurut Scholfield (2008) risiko atau error diantaranya dipengaruhi beberapa hal yakni; peralatan medis dan obat-obatan dan
prosedur-prosedur serta kebijakan di tempat pelayanan. Hal ini didukung juga
oleh studi yang dilakukan oleh Hobgood et a.l (2006) menyebutkan bahwa
peralatan yang tersedia berpengaruh sebesar 12 % pada error ringan dan angka lebih tinggi pada error yang berat. Hasil analisis variable luar yang meliputi
kelengkapan fasilitas dan ada dan tidaknya SOP (standar operasional prosedur)
untuk melayani ibu bersalin, diketahui bahwa unit pelayanan kebidanan di tempat
responden bekerja masih banyak yang tidak mempunyai alat/fasilitas yang lengkap
sesuai standar, namun untuk SOP dan kebijakan yang diterapkan untuk pasien
bersalin sebagian besar telah ada. Alat atau fasilitas yang belum semuanya ada
adalah alat dan obat essensial untuk penanganan bayi baru lahir dengan
komplikasi dan belum lengkapnya alat-alat perlindungan diri dan pencegahan
infeksi.
Kelengkapan fasilitas dan alat serta
prosedur yang jelas dalam menangani pasien memang menjadi hal yang penting yang
harus ada pada suatu unit pelayanan kebidanan. Keberadaan dua hal tersebut
jelas akan meningkatkan kualitas perawatan pasien dan mencegah terjadinya medical error. Medical error dapat dicegah diantaranya dengan kelengkapan
fasilitas dan SOP, namun Lester dan Jonathan (2001) menjelaskan lebih jauh
bahwa dalam upaya untuk menurunkan kejadian medical
error penggunaan checklist, SOP, atau bahkan computerized decision aids akan menjadi sebuah ketegangan yang
terjadi pada provider (dokter), dimana ketegangan tersebut terjadi antara
proses perubahan karakter individu secara natural dengan proses berpikir dan
bekerja. Penjelasan ini berfokus pada kematangan individu dalam proses sosialisasi
(pemahaman dan internalisasi) profesi dokter. Perubahan terkini dalam praktek
kedokteran yang bertujuan untuk menurunkan kejadian error lebih banyak diarahkan kepada individu dokter, karena adanya
persepsi publik yang berkembang bahwa medical
error adalah hal yang biasa terjadi dan sebagian besar dilakukan oleh
dokter. Dari sudut pandang pendidikan kedokteran, konsep berpikir tentang error menjadi suatu perubahan pada
aspek pendidikan dokter, seperti halnya
perubahan kurikulum yang disusun untuk perubahan positif guna menurunkan
kejadian medical error.
Departemen Kesehatan (2002) menetapkan
kurikulum pendidikan kebidanan Diploma III, dimana dalam kurikulum tersebut
telah menggunakan pokok bahasan asuhan
persalinan normal (APN) pada mata kuliah Askeb II (asuhan pada ibu bersalin) .
Tujuan kurikulum ini adalah; bidan lulusan program studi diploma III kebidanan
mampu melaksanakan asuhan persalinan yang bersih dan aman. Ini mendukung
analisis yang menunjukkan bahwa asuhan kebidanan yang dilaksanakan pada ibu
bersalin dapat dikategorikan baik, meskipun masih ada yang dikategorikan tidak
baik, karena pada dasarnya bidan lulusan DIII kebidanan telah mempelajari APN
sejak masa kuliahnya. Penguasaan kompetensi pertolongan persalinan menjadi hal
utama bagi seorang bidan. Kualitas asuhan atau pelayanan yang diberikan bidan
tentu saja dipengaruhi oleh sejauhmana bidan menguasai kompetensi tersebut.
Komponen inti kompetensi bagi bidan
mencakup pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Ketiga hal tersebut dipelajari dan
dilatih selama masa pendidikan. Kurikulum pendidikan bidan diimplementasikan
dalam mata kuliah yang diikuti bidan merupakan hal yang penting. Kroll et al. (2008) dalam studi kualitatifnya
menegaskan bahwa kekeliruan (error)
menjadi hal yang signifikan dalam kurikulum. Kurikulum yang tidak memasukan
materi tentang medical error dalam
mata kuliah akan menjadikan atau meluluskan dokter muda yang tidak akuntabel.
Demikian pula terhadap kurikulum DIII kebidanan yang diberlakukan di sejumlah
program studi kebidanan di Indonesia, hampir seluruhnya mengacu pada kurikulum
dari Depkes yang memang belum ada matakuliah yang membahas khusus tentang medical error atau lebih jauh tentang patient safety. Inilah permasalahan yang
bisa dianalisis berkaitan dengan kecenderungan timbulnya gap antara tuntutan kompetensi bidan yang harus mampu memberikan
pelayanan atau asuhan kebidanan yang bermutu tinggi dan aman bagi pasien,
sedangkan materi untuk memahami tentang patient
safety dan medical error dan
hal-hal yang berkaitan dengan adverse
event tersebut tidak dibahas secara focus dan mendalam.
Berdasarkan hasil self reported pelaksanaan asuhan pada ibu bersalin yang dilakukan
oleh responden dikategorikan baik, meskipun masih ada yang dikategorikan tidak
baik. Pelaksanaan asuhan pada ibu bersalin bagi bidan telah ditetapkan
prosedurnya dalam APN (Asuhan Persalinan Normal). Dalam perkembangan 10 tahun
terakhir, konsep APN terus diperbaiki. Perbaikan terkini dilakukan pada langkah
baku penatalaksanaan persalinan normal,
pencegahan perdarahan pasca persalinan dengan manajemen aktif kala III
persalinan, waktu yang tepat bagi pemberian oksitosin dan penjepitan tali
pusat, inisiasi menyusu dini, kontak kulit ibu-bayi, resusitasi bayi baru lahir
(BBL) dengan asfiksia dan pemeriksaan BBL (Jaringan Nasional Pelatihan
Klinik-Kesehatan Reproduksi [JNPK-KR], 2008). Setiap bidan hendaknya mengikuti perkembagan terkini, guna
meningkatkan kualitas pelayanan.
Perkembangan tersebut mencerminkan
semakin kompleks dan komprehensifnya berbagai pengetahuan,keterampilan, dan
sikap yang diperlukan dalam menjamin terselenggaranya persalinan bersih dan
aman bagi setiap ibu bersalin dan jaminan kelangsungan hidup sehat bagi bayi
baru lahir. Inilah yang harus diperhatikan bidan untuk selalu meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan terkini sesuai perkembangan jaman. Bidan yang
tidak proaktif dengan perkembangan
ilmu dan keterampilan atau tidak memperhatikan hal-hal penting dalam pelayanan
tentu saja akan meningkatkan risiko terjadinya kekeliruan atau error. Jika dilihat dari pengalaman
bekerja dan tempat kerja responden, sebagian besar responden mempunyai
pengalaman bekerja 1 tahun, sedangkan sebagian besar bekerja di puskesmas dan
di RB. Lama kerja atau pengalaman tentu saja
mempengaruhi kinerja seseorang. Meskipun Hobgood et a.l (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa karakteristis
responden berdasarkan umur, jenis kelamin, ras, pengalaman kerja, tingkat
kemampuan teknis medis, dan status kepegawaian tidak menunjukkan angka yang
significant terhadap terjadinya error.
Kondisi yang tergambarkan dari karakteristik responden dalam peneliatan ini
merupakan kondisi yang bisa mempengaruhi terjadinya medical error dalam pelayanan kebidanan pada ibu bersalin yang
dilaksanakan oleh bidan lulusan DIII.
Hasil analisis karakteristik responden
menggambarkan bahwa sebagian besar responden adalah bidan lulusan tahun 2005
dan sebagian besar adalah lulusan dari institusi pendidikan kebidanan swasta
dengan program regular (lulusan dari SMA). Ini dapat diartikan bahwa dasar ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh sebagian besar adalah ilmu dan
keterampilan yang berkembang 6 tahun terakhir, sedangkan bidan yang memperoleh
bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan terkini yakni bidan lulusan tahun 2009
prosentasenya lebih sedikit.
Penelitian ini mendapatkan data kejadian medical error sebesar 41,5% (n=22) paling banyak terjadi pada
tindakan pertolongan persalinan sebesar 26.42% (n=14) dan upaya pencegahan
infeksi sebesar 18.87% (n=10). Error
yang terjadi pada tindakan pertolongan persalinan sebagian besar terjadi
kekeliruan pada penaganan awal kasus kegawatan pada ibu dan masih dilakukannya
dorongan pada fundus uteri untuk mempercepat kelahiran bayi, sedangkan Error yang terjadi pada upaya pencegahan
infeksi, sebagian besar responden (56.60%) tidak mencuci tangan 7 langkah
sebelum dan sesudah menangani pasien.
Terjadinya medical error pada aspek pertolongan
persalinan yang sebagian besar terjadi pada kekeliruan penanganan
kegawatdaruratan seperti yang disampaikan DeJoy (2010) dalam studi kualitatif
tentang persepsi mahasiswa kebidanan mengenai bidan dan persalinan, meskipun beberapa mahasiswa percaya bahwa
pada komplikasi akan terjadi pada setiap persalinan, sebagian besar mahasiswa
merasa pengetahuan yang sudah mereka
peroleh belum cukup untuk menjelaskan atau memahami komplikasi yang terjadi.
Bagaimanapun pengetahuan dan ketrampilan untuk menangani kasus komplikasi masih
sangat kurang. Pada setiap komplikasi, tersebar persepsi bahwa operasi Caesar
menjadi satu satunya solusi untuk mengatasi komplikasi selama persalinan.
Keadan ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia saat ini. Terbatasnya
kesempatan untuk turut serta dalam menangani kasus komplikasi persalinan selama
praktik dan batas kewenangan bidan untuk mengatasi masalah komplikasi menjadi
salah satu kendala untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang cukup
dalam mengatasi kasus komplikasi. Keputusan untuk merujuk merupakan hal yang
penting untuk dilaksanakan, namun apa yang harus dilakukan sebelum merujuk
merupakan hal yang lebih penting untuk dipelajari dan dipraktikkan.
Medical error yang terjadi pada upaya pencegahan infeksi
sebagian diketahui bahwa 56.60% bidan tidak melakukan cuci tangan 7 langkah
sebelum dan sesudah menangani pasien. Cuci tangan yang dilakukan secara benar
dan tepat 7 langkah tidak dilakukan, padahal dalam APN hal tersebut diharuskan
sebagai universal precaution. Dari
data kelengkapan alat, diketahui masih banyak fasilitas kebidanan yang tidak
mempunyai alat perlindungan diri sesuai standar. Dalam kenyataan, alat
perlindungan diri seperti kaca mata, masker, tutup kepala dan sepatu booth yang
sudah adapun tidak digunakan secara maksimal. Sesuatu yang tidak biasa bagi
bidan seringkali menjadi hambatan untuk menerapkan standar.
Perilaku
mencuci tangan 7 langkah belum menjadi kebiasaan bidan, meskipun jika dilihat
di tempat praktek mereka, sudah banyak poster tentang pentingnya mencuci tangan
7 langkah. Keadaan ini sesuai dengan studi tentang kualitas asuhan persalinan
normal yang dilakukan oleh Therese et al.
(2007). Sebagian besar bidan tidak mencuci tangan sebelum memeriksa pasien atau
menolong persalinan, perineum juga tidak pernah dibersihkan sebelum dilakukan
pemeriksaan vagina dan pertolongan persalinan, meskipun mereka mencuci tangan
sesudah menolong persalinan, namun tanpa desinfeksi. Penggunaan sarung tangan disposible dan alat atau instrumen telah
diperhatikan kesterilannya.
Data dari
hasil penelitian ini diperoleh dengan melihat medical error dari sisi provider, dalam hal ini adalah bidan.
Beberapa penelitian tentang medical error
juga dilakukan dengan melihat outcome
kejadian medical error misalnya complain pasien, hasil audit kasus dan
dengan model self identify, self report
baik dengan memberikan kuesioner maupun wawancara atau dengan studi kasus
(Grober,2005). Hobgood et al. (2006)
dalam penelitiannya mengidentifikasi bahwa pada kategori error ringan proporsi terjadinya kesalahan diagnosis adalah 80%,
lebih tinggi dari error yang terjadi
pada saat tindakan dan program pengobatan, sedangkan untuk error pada pemberian
obat sebesar 98% (95% CI 8-16). Lombaard dan Robert
(2009) dalam studinya menyebutkan bahwa pelayanan dibawah standar menyebabkan
kejadian kematian ibu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kejadian nearmiss,
meskipun bentuk error sama, namun
terdapat perbedaan proporsi dimana kejadian nearmiss
lebih kecil proporsi terjadinya error
(0,61) dibandingkan dengan proporsi kejadian error pada kasus kematian ibu (2,25). Pola error yang sering terjadi diantaranya terjadi dalam bentuk
kesalahan pada pengkajian (assessment),
penentuan diagnosa, keterlambatan merujuk, penanganan yang salah, pelayanan di
bawah standar, tidak dimonitor, terlalu lama memonitor kasus abnormal tanpa
melakukan tindakan dan resusitasi.
Mengungkap masalah medical error memang tidaklah mudah, karena error merupakan hal negatif yang selayaknya tidak terjadi. Namun
bagi orang yang memahami konsep tentang medical error dan keselamatan
pasien,ini menjadi penting untuk diungkap untuk dijadikan refensi pembelajaran
dalam meningkatkan pelayanan kepada pasien. Kaldjian et a.l (2007) dalam studinya tentang sikap dan perilaku dokter
untuk pengungkapan medical error pada
pasien, menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara sikap dan perilaku dokter
berkaitan dengan pengungkapan medical
error. Kerelaan untuk mengungkapkan error
berhubungan dengan tingkat pelatihan yang lebih tinggi dan kondisi pasien. Penelitian
ini juga menyebutkan bahwa kesediaan untuk mengungkapkan error lebih banyak prosentasenya (77%) pada kasus error yang mengakibatkan kerugian pasien
yang lebih berat. Singkatnya, semakin tinggi pemahaman tenaga kesehatan tentang
medical error, maka pengungkapan error
dan upaya –upaya untuk mencegah error
lebih diperhatikan. Kejadian medical
error yang terjadi atau dilakukan oleh responden mencakup type error omission maupun type error commission. Error of comission merupakan type yang sering terjadi pada responden.
Kekeliruan dalam memberikan asuhan antara lain adalah; kekeliruan pada saat
menentukan diagnose pada ibu bersalin. Ada kecenderungan bidan yang baru saja
lulus belum bisa menentukan pembukaan serviks secara tepat sebagai dasar untuk
menegakkan diagnose. Perlu latihan dan pengalaman yang lebih,sedangkan selama
masa studinya bidan kurang latihan dan kurang mendapatkan kesempatan.
REFERENCE :
Blendon Robert, J., Chaterine, M. (2002) Views
of Practicing Physicians And The Public On Medical Errors, N Engl J Med, 347(24): 1933-1940
Buken Erhan,
Nuket O B, Bora Nuken. (2004) Obstetric and Gynecologic malpractice in Turkey:
Incidence, Impact, Causes and Prevention, J
Clin Forensic Med, 11(5):233-247
Carroll, R.
ed. (1997) Risk Management Handbook for
Heath Care Organizational, America: American Hospital Publishing.
Dwiprahasto (2008, Juli), Aspek
Legal Pelayanan Kebidanan dan Upaya untuk Meminimalkan Risiko Error dalam
Praktek. Naskah dipresentasikan dalam Seminar Sehari; Selamatkan Ibu dan
Bayi, Hindari Medical Error dan Medical Mal Practice, IBI Cabang Kota
Yogyakarta, Yogyakarta
DeJoy,
Sharon, Bernecki. (2010), “ Midwife Are Nice, But…”: Perceptions of Midwifery
and Childbirth in an Undergraduate Class, J
Midwifery Womens Health, 55:117-123
Gallagher
T., Thomas H., Jane G. (2006), Choosing Your Words Carefully:
How Phsysicians Would Disclose Harmful Medical
Errors to Patiens, Arch Intern Med,
166 (15):1685-1593
Grober,
E.D., John , Bohnen (2005) Defining medical error, Can J Surg, 48 (1): 39-44.
Hernawati,
Ina. (2011), Kebijakan Jampersal dalam
Peningkatan Persalinan Aman. Naskah dipresentasikan dalam Rakernas IBI ke
V, Solo
Hobgood, C., Bowen, J.B., Brice, J.H.,
Overby, B., Tamayo-Sarver, J.H. (2006) Do
EMS Personnel Identify, Report, And Disclose Medical Errors?, Prehospital Emergency Care,10:21–27
Institute of
Medicine. (1999) To err is human:
building a safety health system. National
Academy Press, Washington DC
IBI (2011, Oktober) Sistem dan
Standar Pendidikan Bidan. Naskah dipresentasikan dalam Rakernas IBI ke V,
Solo
International Confederation Of Midwives, (2011) Essential Competencies
for Basic Midwifery Practice 2010, available at www.internationalmidwives.org accesed 25 January 2012
Kaldjian, L.C., Jones,
E.W., Wu, B.J., Forman-Hofíman,
V.L., Levi, B.H.,
Rosenthal,G.E. (2007) Disclosing Medical
Errors to Patients:
Attitudes
and Practices of Physicians
and Trainees. Society of
General
Internai Medicine, 22:988-996
Kroll, L., Singleton, A., Collier, J.,
Jones, I.R. (2008) Learning not to take it seriously:
junior doctor`s accounts of error, Medical
Education, 42:982-990
Leanda, K., Singleton, A., Collier,
J., Jones, I.R. (2008) Learning not to take it seriously:
junior doctor`s accounts of error, Medical
Education, 42:982-990
Lester, H.
& Jonatthan, Q.T. (2001) Medical Error: a Discussion of the medical construction of error and suggestions for
reforms of medical education to decrease to error, Medical education, 35:855-861
Lofmark, A., Smide, B., and Wikblad,
K. (2006), Competence of Newly-Graduated Nurses-Comparison of the Perception of
Qualified Nurses and Students. Journal of
Advanced Nursing, 53(6), 721–728
Lombaard,
H. & Robert, C.P. (2009) Common
errors and remedies in
managing post
partum haemorrhage,
Best Practice & Research
Clinical and Gynaecology, XXX:1-10
Manus, I.C., Richards, P., Winder,
B.C.,Sproston, K.A. (1998
), Clinical experience, performance in
final examinations, and learning style in medical students: prospective study, BMJ,
316;345-350
Reason, J. (1997) Managing The Risk of Organizational Accidents, Burlington, USA
Ashgate Publishing
Scholefield,
H. (2008) Safety in Obstetric Critical Care,
Best Practice & Research Clinical
Obstetrics and Gynaecology, 22 (5):965-982
Seiden, S.C,
Galvan, C., Lamm, R. (2006)
Role of Medical Student in Preventing Patient Harm and Enhanching Patient
Safety, Quality and Safety in Health Care,
available on http://qshc.bmj.com/cgi/content accesed : 14 May 2008
Seminar Sehari HUT ke-57 IBI 2008,
Yogyakarta. (2008) Selamatkan Ibu dan
Bayi, Hindari Medical Error dan Medical Mal Practice, Iwan Dwi Prahasto,
Yogyakarta, IBI Cabang Yogyakarta
Stelfox, H.T.,
Palmisani, S., Scurlock, C. (2006)
The “To Err is Human” Report and The Patient Safety Literatur, Quality and
Safety in Health Care, available on http://qshc.bmj.com/cgi/content accesed : 14 May 2008
Therese,
Delvaux., Ake Tam Odile., Gohou Kouassi Valerie., Bosso Patrice., Collin Simon., Konsmans
Carine. (2007), Quality
of normal delivery care in Cote d'lvoire, African Journal of Reproductive
Health, Vol. 11 No.1 April
Utarini, A., (2011) Mutu Pelayanan Kesehatan Di Indonesia:
Sistem Regulasi yang Responsif, Naskah disampaikan dalam Pidato Pengukuhan
Jababatan Guru Besar pada fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Vincent C, Graham Neale, Maria
Woloshynowych. (2001) Adverse Event in British Hospital, Preliminary
Retrospective Record Review, BMJ
;322;517-519
Vincent, CA and A Coulter. (2002) Patient Safety: What about the patient
Quality and Safety in Health Care, available on http://qshc.bmj.com/cgi/content accesed : 14 May 2008
Weiner, S.J., Alan, S. Rachel, Y.,
Gordon, D.S., Frences, M.W., Julie, G.& Kevin, B.W. (2007) Evaluating
Physician Performance at individualizing Care: A pilot Study Tracking
Contextual errors in Medical Decision Making, Med Decis Making: 27;726-734
Assalamualaikum. saya sangat tertarik dengan peneltian ini. apa boleh saya mencitation penelitian ini?
BalasHapusjika diizinkan saya ingin melihat secara detail peneltian ini. trims
bagus sekali artikelnya
BalasHapuswww.sepatusafetyonline.com